...:: Senin, 18 Agusutus 2014 Jam 19.00 WIB Wayang Kulit Ki Anom Suroto Lakon "Durna Gugur" Bagian 1, Selamat Menikmati ::...


Minggu, 27 Juni 2010

Jadwal Siaran Radio "BUDAYA JAWA" 25 Juni s.d. 25 Agusutus 2010

Perang Bharatayuda Jayabinangun tidak sekadar menceritakan kedahsyatan perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa. Lebih dari itu, muatan filosofi yakni penundukan hawa nafsu untuk mendapatkan kemuliaan hidup tersaji secara komprehensif dalam peristiwa berdarah ini. Sengsara dan derita adalah buah dari hasrat atau keinginan yang sangat.

Dalam terminologi agama samawi, melalui hasrat atau ambisi inilah setan merasuki darah, akal, dan jiwa umat manusia. Kita (manusia) yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk terbaik-Nya, turun derajatnya menjadi makhluk yang hina-dina.
Hakikat nyata dari hasrat yang membabi-buta dalam tragedi berdarah perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa, tampak pada profil Prabu Mahabisa (dalam kisah pewayangan juga dikenal sebagai Prabu Sentanu atau Prabu Maha Bima). Raja agung binathara Astina yang pernah menyelenggarakan sesaji Acwamedha seribu kali dan Rajasuya seratus kali—sebagai pemujaan menurut kepercayaan agama Hindu—ini harus terusir dari Kahyangan dan turun ke Madyapada karena hasrat dan syahwatnya yang amat sangat untuk melihat aurat Dewi Gangga. Dalam konteks ini, adagium “kuasa, harta, dan wanita” yang sering kali ‘menggoda’ para penguasa dan pemimpin, ada benarnya.
Simak juga bagaimana ambisi Dewi Durgandini agar anak-anak keturunannya kelak menjadi Raja Binathara. Hasrat dan ambisi akan kekuasaan ini menjadikan alas (padang) Kurusetra ‘banjir darah’ dari saru keluarga besar kerajaan, Kurawa dan Pandhawa.

Dari peristiwa tragis ini (kedahsyatan perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa) terpampang jelas berbagai perwatakan manusia. Dari watak yang terjahat hingga watak yang mulia. Masing-masing watak ini akan membawa konsekuensinya masing-masing.
Bisakah kita membayangkan jika manusia tak terbebani keinginan atau hasrat? Sebuah hasrat (keinginan)—untuk tidak menyebut ambisi—ternyata bisa membelenggu hati manusia. Lebih-lebih jika keinginan yang tersimpan di dalam hati itu adalah keinginan besar yang bersifat keduniawian. Hasrat besar ini akan menggiring hati menjadi nafsu serakah dan membahayakan hidupnya. Buku karya Wawan Susetya berjudul Bharatayuda: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari ini mengungkap filosofinya.

Kisah perang saudara yang maha dahsyat antara Kurawa dan Pandhawa yang dikenal dengan Perang Bharatayuda Jayabinangun ini dipicu oleh perebutan kekuasaan atau takhta atas Kerajaan Astina. Konon, perang sengit ini tidak hanya terjadi di zaman Kurawa dan Pandhawa, namun sesungguhnya telah dimulai semenjak leluhur mereka.
Keinginan pertama dimulai dari Prabu Sentanu, Raja Astina, yang berhasrat menikahi Dewi Durgandini (dalam pewayangan dikenal juga sebagai Dewi Gandawati alias Dewi Lara Amis, Dewi Setyawati, atau Dewi Syayojanagandi) yang cantik jelita. Dikarenakan beberapa tahun hidup tanpa prameswari, membuat Prabu Sentanu kesepian dalam hidupnya.
Hingga di suatu hari ketika sedang berburu di hutan Astina, Prabu Sentanu bertemu dengan Dewi Durgandini yang dari tubuhnya memancarkan aroma harum semerbak. Sang Prabu kemudian berhasrat mempersunting sang Dewi nan cantik jelita ini. Namun calon prameswari Kerajaan Astina ini memberi persyaratan yang tidak mudah (berat) kepada Prabu Sentanu. Dewi Syayojanagandi alias Dewi Durgandini mau dinikahi, asalkan anak keturunannya kelak harus dinobatkan menjadi Raja Binathara di Kerajaan Astina!
Tuluskah keinginan Dewi Durgandini, janda cantik bekas istri Begawan Palasara beranak satu, yakni Wiyasa Kresna Dwipayana (Abiyasa) ini? Mantan suaminya, Begawan Palasara adalah pertapa yang berkhidmat melakukan semadi di Pertapaan Wukiratawu (Saptaarga). Apa jadinya jika keinginan diimbangi dengan keinginan pula? Padahal, takhta Kerajaan Astina telah dipersiapkan untuk Sang Pangeran, Raden Dewa Brata, sebagai pewaris takhta kerajaan yang sah yang akan menjadi Prabu di Kerajaan Astina.
Kisah legendaris dalam Babad Mahabharata (Keturunan Darah Bharata) ini merupakan karya besar Abhiyasa (nama aslinya Viyasa) dari India. Entahlah, penulis karya sastra besar (pujangga) tersebut masuk ke dalam cerita Mahabharata karena nama Abhiyasa (Wiyasa) ada dalam epik Mahabharata. Wiyasa adalah putra Begawan Palasara dengan Dewi Setyawati di Pertapaan Saptaarga atau Wukiratawu.

Tragedi perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa dalam epik Bharatayuda Jayabinangun ini menjadi pelajaran penting bagi umat manusia secara universal. Kisah tragis ini syarat pelajaran penting, dan filosofinya membumi ke dalam kehidupan kita hingga kini.

Senin, 07 Juni 2010

Jadwal Siaran "Radio Nusantara" 6 s.d. 23 Juni 2010

Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.

Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.

Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.



Ringkasan Cerita
Prabu Dasarata dari Ayodhya


Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai Gangga, ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran tersebut sangat gagah dan mahir bersenjata.

Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi Wiswamitra dan Sang Rama berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama perjalanannya, Sang Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi Wiswamitra. Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan membawa Dewi Sita, Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.

Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta kepada Rama. Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan Rama harus meninggalkan kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai penerus tahta, namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.

Rama hidup di hutan
Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu dengan berbagai rakshasa, termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana, hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya. Rawana menjadi marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat Rama dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia menculik Sita, istri Sang Rama. Dalam usaha penculikannya, Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia gugur.

Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke Kerajaan Alengka atas petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan Sang Rama, Sugriwa berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk membalas jasa, Sugriwa bersekutu dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi lautan dan menggempur Alengka.

Rama menggempur Rawana
Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para sekutunya termasuk puteranya – Indrajit – untuk menggempur Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa dan memperoleh kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu dan para patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan pertarungan berlangsung sengit. Dengan senjata panah Brahmāstra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.

Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah kesuciannya diuji. Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim dan menyerahkan tahta kepada Rama.